Suasana saat aku menjadi juri lomba lukis di Sukoharjo. Dok Pak taufik |
Menilai sebuah gambar didalam lomba lukis menurut saya sama halnya mengapresiasi sebuah lukisan. Tidak asal pilih gambar yang dianggapnya secara
visul /umum gambar tampak baik , tetapi ada yang penting karena
melibatkan pengalaman pribadi sang juri. Pengalaman pribadi juri
berbeda -beda sehingga melahirkan wawasan penilaian yang berbeda. jika
juri ada 3 orang maka perlu kesepakatan standart penilaian yang seragam.
Pada Event yang nakal kadang asal comot juri untuk lomba lukis anak dan
hanya memakai satu orang saja. Hal ini seperti pengalaman saya jadi juri di
sebuah dealer di Sukoharjo, karena pada saat keputusan pemenang be-
berapa peserta protes menuntut kemenangan gambar anaknya sendiri-
sendiri. Para orangtua yang protes ini menganggap gambarnya baik dan
sering menjadi pemenang. Sebagai juri satu-satunya akhirnya saya kurang
begitu kuat beradu argumentasi karena para orangtua yang protes ini berlaku sudah melampaui batas wajar akibatnya panitia mengambil jalan tengah
dengan memberikan hadiah sendiri buat para orangtua yang protes ini. Inilah
sebuah fenomena lomba lukis anak sekarang ini. Banyak orangtua yang tidak
bisa menerima kekalahan putra putrinya hanya karena terbiasa menang
lomba tetapi tidak melihat latar belakang jurinya.
Melihat dari latar belakang seorang juri akibatnya setiap Juri mempunyai
karakter sendiri-sendiri. Juri dari seorang pelukis akan berbeda dengan se-
orang Dosen seni Rupa atau Guru sekolah begitu juga dari Juri seorang Disainer grafis atau seniman lainnya. Akibatnya para orangtua yang cerdik yang
sering ikut lomba lukis anak biasanya akan menanyakan kepada panitia “ Sia-
jurinya ” karena beberapa orangtua mengenal bahkan hapal sekali karakter
para jurinya. Dan kenyataan yang terjadi corak gambar para peserta yang
tahu karakter jurinya akan mengikuti pola penilaian juri yang dikenalnya. Dan
korbannya tidak lain adalah sang anaknya karena harus menuruti aturan
orangtuanya. Salah satu contoh kalau jurinya berasal dari Dosen ISI maka
gambarnya harus original anak artinya tipe bebas tanpa harus gradasi dan
menyukai yang unik. Tetapi lain Juri dari sebuah sanggar lukis yang akan
memilih gambar dengan warna-warna gradasi sesuai pola ajarannya.
Pengalaman saya lainnya ketika jadi juri di lomba lukis sebuah sekolah dasar
di Klaten , ternyata saya harus berpasangan dengan juri dari sebuah pondok
pesantren yang katanya guru menggambar. Ternyata benturan-benturan
banyak terjadi akibat pengalaman pribadi yang berbeda. Untung saja jurinya
tiga orang dan kebetulan kami berdua mempunyai keseragaman yang sama
dan akhirnya bisa memilih gambar yang dianggap pemenang.
Menjadi juri jika pasangannya mempunyai perbedaan pengalaman pribadi
yang menyolok akibat panitia asal comot maka menjadi sulit apalagi sang juri
sangat egois.
Seorang juri yang baik harus bisa Tepo Seliro /kerja sama antar juri untuk
demi hasil yang baik,menyatukan argumentasi yang telah disepakati ber-
sama seperti Kreatifitas , Orisinil, Komposisi, Finishing , kecocokan tema atau
lainnya. Bagi saya alat bukan hal yang penting dalam penilaian karena
sebuah kreatifitas bisa dilihat dari gaya dan ekpresi pewarnaan yang
cenderung bebas.
Yang perlu jadi catatan jangan sekali-kali juri menerima suap karena ini
sangat melukai pendidikan anak dan mengotori budaya bangsa sebagai
bangsa yang jujur ,adil dan beradab. Bila halini terjadi pada anda sebagai
orangtua maka jangan salahkan kalau sang putra putrinya suatu saat jadi
Koruptor.
Posting berdasar pengalaman pribadi saya selama jadi Juri.
Pengelola sanggarku Bobbo
Komentar
Posting Komentar