Tulisanku yang dimuat di solopos edisi 6 desember 2011 hal iv
Rasanya menggambar dan mewarnai saat ini sudah bukan asing lagi bagi dunia pendidikan. Kegiatan ini termasuk bagian dari pendidikan seni rupa.
Meski hanya sekadar coret-coret atau permainan warna, kedua kegiatan ini sangat berarti bagi perkembangan pribadi anak. Khususnya dalam membantu pembentukan karakter anak.
Hampir menjadi rutinitas tiap pekan pada event anak-anak selalu ada acara lomba menggambar dan mewarnai sekaligus selalu memunculkan para juara menggambar maupun mewarnai. Sebutlah saja menjadi seniman cilik baru. Para seniman cilik ini ternyata sangat berperan membawa nama sekolah menjadi tercatat sebagai sekolah yang berprestasi.
Solo sebagai Kota Budaya, maka peranan seni rupa sangat mendukung sekali menjadi bagian dari agenda budaya. Berulang kali di city walk diadakan pesta ajang lukis anak, membatik maupun pentas seni. Gedung seni seperti Taman Budaya Jawa Tengah atau TBS, Gedung Kesenian Solo atau Balai Sudjatmoko seringkali menggelar pameran seni rupa anak-anak. Munculnya beberapa sanggar lukis anak seiring kebutuhan anak-anak untuk bisa menguasai menggambar dan mewarnai. Namun kenyataannya, mereka hanya terdorong ingin menjadi juara. Maka tidaklah heran bagi sebagian orangtua akhirnya berbondong-bondong mengajak anaknya untuk ikut les menggambar.
Banyak anak-anak Solo berprestasi dalam dunia seni rupa baik lokal maupun internasional. Tidak aneh para juara alias seniman cilik dari Solo itu mengatakan pialanya berjumlah 50-100 buah. Namun anehnya seniman cilik itu ketika beranjak SMP atau SMA mereka berhenti di tengah jalan. Beberapa anak mengatakan bosan dan ada beberapa seniman cilik itu masih berlanjut karyanya namun karya lukisan tidak berubah. Artinya masih menunjukkan karya lukisannya seperti anak-anak. Ini sebuah fenomena yang terjadi dalam perkembangan seni rupa anak-anak Solo. Yang tidak bisa ditinggalkan, adalah adanya keseragaman warna dan coretan sehingga berkarakter sama. Telah jadi budaya di Solo anak-anak belajar di sanggar adalah berorientasi untuk prestasi bukan bertujuan demi perkembangan motorik agar anak menjadi cerdas.
Original
Akhirnya untuk mewarnai seni rupa anak khususnya Solo sangat memerlukan dan menunggu karya anak yang bersifat murni ekpresif. Beberapa karya lukis anak-anak Solo yang pernah dipamerkan selama ini masih berbau tema-tema seputar pengalaman dari lomba lukis. Betapa indahnya bila dunia anak-anak yang original divisualisasikan dalam bentuk karya lukis. Melihat perkembangan seni rupa anak di kota lain seperti karya lukis anak-anak di Kota Jogja atau Bali akan terasa sekali menunjukkan kebebasan dalam menuangkan warna maupun imajinasinya.
Dari pantauan penulis, ternyata lingkungan sangat berpengaruh dalam pembentukan karya lukis anak, dalam hal ini lingkungan terdekat adalah orangtua, guru dan sanggar atau les. Beberapa orangtua sering ikut campur saat anak-anak sedang membuat karyanya seperti menegur, memfonis jelek bahkan secara tak sadar mengkritisi, sehingga membuat keberanian anak sering terhalang oleh aturan-aturan yang terekam dalam imajinasinya atau mungkin kebiasaan tema-tema yang sering membatasi gerak atau ada rasa takut mengeluarkan imajinasi orisinal dari si anak. Pengaruh yang paling kuat adalah guru atau pembimbing lukis di sanggar. Bagi kalangan umum menganggap pengajaran seni rupa bagaikan pelajaran formal yang bersifat objektif seakan ada nilai benar atau salah. Tapi bagi kalangan seni rupawan atau akademisi seni rupa pengajaran seni rupa sangat berpengaruh pembentukan karyanya. Sehingga untuk melangkah sangat ekstra hati-hati seakan ada beban moral yang membebani.
Adalah salah satu sanggar lukis anak di Jogja yang mungkin selaras dengan opini penulis, dari karya-karya mereka ada kekuatan orisinal imajinasi yang sangat kuat, mereka betul-betul sedang menyampaikan sesuatu kepada yang melihatnya sehingga karya lukisnya sangat berbicara. Karya lukis jenis ini memang cenderung kalah dalam lomba lukis kalau di Solo. Tetapi masih ada beberapa juri yang bertahan memilih karya-karya orisinil imajinasi anak sebagai juara. Walaupun pada kenyataannya para juri itu akan mendapat cemoohan atau protes dari orangtua peserta lain.
Berbicara sebuah karya orisinal imajinasi anak memang sangat unik sekali karena mereka tidak mengenal aturan yang membatasi geraknya. Apa yang ada di dalam imajinasinya dicurahkan dengan segala keberanian tanpa merasa takut. Gerakan membawa aliran seni rupa anak jenis ini harus dimulai dari sekarang, khususnya dari para orangtua, guru dan para pembina sanggar seni. Mereka harus berani mengubah sistem pengajaran seni rupa dengan pola yang tidak seperti biasanya.
Solo ke depan sangat menunggu seniman cilik dengan karyanya sebagai karya seni bukan karya instan yang telah kemasukan imajinasi orangtua maupun pembimbing sanggar. Dengan demikian Solo betul-betul memang layak disebut sebagai Kota Budaya bagi anak sekaligus sebagai Kota Layak Anak. – Diposting ulang Ainita Syafi’ah ,Spd
Meski hanya sekadar coret-coret atau permainan warna, kedua kegiatan ini sangat berarti bagi perkembangan pribadi anak. Khususnya dalam membantu pembentukan karakter anak.
Hampir menjadi rutinitas tiap pekan pada event anak-anak selalu ada acara lomba menggambar dan mewarnai sekaligus selalu memunculkan para juara menggambar maupun mewarnai. Sebutlah saja menjadi seniman cilik baru. Para seniman cilik ini ternyata sangat berperan membawa nama sekolah menjadi tercatat sebagai sekolah yang berprestasi.
Solo sebagai Kota Budaya, maka peranan seni rupa sangat mendukung sekali menjadi bagian dari agenda budaya. Berulang kali di city walk diadakan pesta ajang lukis anak, membatik maupun pentas seni. Gedung seni seperti Taman Budaya Jawa Tengah atau TBS, Gedung Kesenian Solo atau Balai Sudjatmoko seringkali menggelar pameran seni rupa anak-anak. Munculnya beberapa sanggar lukis anak seiring kebutuhan anak-anak untuk bisa menguasai menggambar dan mewarnai. Namun kenyataannya, mereka hanya terdorong ingin menjadi juara. Maka tidaklah heran bagi sebagian orangtua akhirnya berbondong-bondong mengajak anaknya untuk ikut les menggambar.
Banyak anak-anak Solo berprestasi dalam dunia seni rupa baik lokal maupun internasional. Tidak aneh para juara alias seniman cilik dari Solo itu mengatakan pialanya berjumlah 50-100 buah. Namun anehnya seniman cilik itu ketika beranjak SMP atau SMA mereka berhenti di tengah jalan. Beberapa anak mengatakan bosan dan ada beberapa seniman cilik itu masih berlanjut karyanya namun karya lukisan tidak berubah. Artinya masih menunjukkan karya lukisannya seperti anak-anak. Ini sebuah fenomena yang terjadi dalam perkembangan seni rupa anak-anak Solo. Yang tidak bisa ditinggalkan, adalah adanya keseragaman warna dan coretan sehingga berkarakter sama. Telah jadi budaya di Solo anak-anak belajar di sanggar adalah berorientasi untuk prestasi bukan bertujuan demi perkembangan motorik agar anak menjadi cerdas.
Original
Akhirnya untuk mewarnai seni rupa anak khususnya Solo sangat memerlukan dan menunggu karya anak yang bersifat murni ekpresif. Beberapa karya lukis anak-anak Solo yang pernah dipamerkan selama ini masih berbau tema-tema seputar pengalaman dari lomba lukis. Betapa indahnya bila dunia anak-anak yang original divisualisasikan dalam bentuk karya lukis. Melihat perkembangan seni rupa anak di kota lain seperti karya lukis anak-anak di Kota Jogja atau Bali akan terasa sekali menunjukkan kebebasan dalam menuangkan warna maupun imajinasinya.
Dari pantauan penulis, ternyata lingkungan sangat berpengaruh dalam pembentukan karya lukis anak, dalam hal ini lingkungan terdekat adalah orangtua, guru dan sanggar atau les. Beberapa orangtua sering ikut campur saat anak-anak sedang membuat karyanya seperti menegur, memfonis jelek bahkan secara tak sadar mengkritisi, sehingga membuat keberanian anak sering terhalang oleh aturan-aturan yang terekam dalam imajinasinya atau mungkin kebiasaan tema-tema yang sering membatasi gerak atau ada rasa takut mengeluarkan imajinasi orisinal dari si anak. Pengaruh yang paling kuat adalah guru atau pembimbing lukis di sanggar. Bagi kalangan umum menganggap pengajaran seni rupa bagaikan pelajaran formal yang bersifat objektif seakan ada nilai benar atau salah. Tapi bagi kalangan seni rupawan atau akademisi seni rupa pengajaran seni rupa sangat berpengaruh pembentukan karyanya. Sehingga untuk melangkah sangat ekstra hati-hati seakan ada beban moral yang membebani.
Adalah salah satu sanggar lukis anak di Jogja yang mungkin selaras dengan opini penulis, dari karya-karya mereka ada kekuatan orisinal imajinasi yang sangat kuat, mereka betul-betul sedang menyampaikan sesuatu kepada yang melihatnya sehingga karya lukisnya sangat berbicara. Karya lukis jenis ini memang cenderung kalah dalam lomba lukis kalau di Solo. Tetapi masih ada beberapa juri yang bertahan memilih karya-karya orisinil imajinasi anak sebagai juara. Walaupun pada kenyataannya para juri itu akan mendapat cemoohan atau protes dari orangtua peserta lain.
Berbicara sebuah karya orisinal imajinasi anak memang sangat unik sekali karena mereka tidak mengenal aturan yang membatasi geraknya. Apa yang ada di dalam imajinasinya dicurahkan dengan segala keberanian tanpa merasa takut. Gerakan membawa aliran seni rupa anak jenis ini harus dimulai dari sekarang, khususnya dari para orangtua, guru dan para pembina sanggar seni. Mereka harus berani mengubah sistem pengajaran seni rupa dengan pola yang tidak seperti biasanya.
Solo ke depan sangat menunggu seniman cilik dengan karyanya sebagai karya seni bukan karya instan yang telah kemasukan imajinasi orangtua maupun pembimbing sanggar. Dengan demikian Solo betul-betul memang layak disebut sebagai Kota Budaya bagi anak sekaligus sebagai Kota Layak Anak. – Diposting ulang Ainita Syafi’ah ,Spd
Komentar
Posting Komentar